A. Biografi Thorndike
Thorndike
berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan
Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard
tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku
yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and
social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word
Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order
(1940)
B. Teori Thorndike dalam Belajar
Teori
belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku
yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan
terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan
perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik
Menurut
Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi
antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ).
Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi
tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan
respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya
perangsang
Thorndike memplokamirkan teorinya dalam belajar ia mengungkapkan bahwasanya setiap makhluk hidup itu dalam tingkah lakunya itu merupakan hubungan antara stimulus dan respon adapun teori thorndike ini disebut teori koneksionisme.
Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respon
sebanyak-banyaknya. Dalam artian dengan adanya stimulus itu maka
diharapkan timbulah respon yang maksimal teori ini sering juga disebut
dengan teori trial and error dalam teori ini orang yang bisa
menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat
dikatakan orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun
cara untuk membentuk hubungan stimulus dan respon ini dilakukan dengan ulangan-ulangan.
Dalam teori trial and error
ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme ini dihadapkan
denagan keadaan atau situasi yang baru maka secara otomatis oarganisme
ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat coba-coba
atau bias juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus
itu pasti ditemukakn respon. Apabila dalam tindakan-tindakan yang
dilakukan itu menelurkan perbuatan atau tindakan yang cocok atau
memuaskan maka tindakan ini akan disimpan dalam benak seseoarang atau
organisme lainya karena dirasa diantatara tindakan-tindakan yang paling
cocok adalah itu, selama yang telah dilalakukan dalam menanggapi
stimulus dan situasi baru. Jadi dalam teori ini pengulangan-pengulangan respon atau tindakan dalam menanggapi stimulus atau situasi baru itu
sangat penting sehingga seseorang atau organisme mampu menemukan
tindakan yang tepat dan dilakukan secara terus menerus agar lebih tajam
dan tidak terjadi kemunduran dalam tindakan atau respon terhadap
stimulus.
Dalam
membuktikan teorinya thorndike melakukan percobaan terhadap seekor
kucing yang lapar dan kucing itu ditaruh dalam kandang, yang mana
kandang tersebut terdapat celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing
itu bisa melihat makakanan yang berada diluar kandang dan kandang itu
bisa terbuka dengan sendiri apabila seekor kucing tadi menyentuh salah
satu jeruji yang terdapat dalam kandang tersebut. mula-mula kucing
tersebut mengitari kandang bebarapa kali sampai ia menemukan jeruji yang
bisa membuka pintu kandang kucing ini melakuakn respon atu tindakan
dengan cara coba-coba ia tidak maengetahui jalan keluar dari kandang
tersebut, kucing tadi melakukan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga
menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau stimulus yang ada.
Thrndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan situasi yang sama pula. Memang
pertama kali kucing tersebut, dalam menemuka jalan keluar membutuhkan
waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang dengan jumblah yang
banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme itu
selalu memegang tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau
stimulus yang ada, maka kucing tadi dalam menemukan jeruji yang
menyebabkan kucing tadi bisa keluar dari kandang ia pegang tindakan ini
sehingga kucing tadi dalam keluar untuk mendaptkan makanan tidak lagi
perlu mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak cocok, akan
tetapi kucing tadi langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa
keluar untuk makan.
C. Hukum-Hukum Belajar
1) Hukum kesiapan “Law of Readiness”
Dalam
belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang
belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang
hendak belajar agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang
dituntut untuk memiliki kesiapan, baik fisik dan psikis, siap fisik
seperti seseorang tidak dalam keadaan sakit, yang mana bisa menagganggu
kualitas konsentrasi. Adapun contoh dari siap psikis adalah seperti
seseorang yang jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa dan
lain-lain.
Disamping
sesorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam
kematangan dalam penguasaan pengetahuan serta kecakapan-kecakapan yang
mendasarinya.
2) Hukum Latihan”Law of Exercise”
Untuk
menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon suatu
stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang
berulang-ulang, adapun latihan atau pengulangan prilaku yang cocok yang
telah ditemukan dalam belajar, maka ini merupakan bentuk peningkatan
existensi dari perilaku yang cocok tersebut agar tindakan tersebut
semakin kuat(Law of Use). Dalam suatu teknik agar seseorang dapat mentrasfer pesan yang telah
ia dapat dari sort time memory ke long time memory ini di butuhkan
pengulangan sebanyak-banyak nya dengan harapan pesan yang telah di dapat
tidak mudah hilang dari benaknya.
Adapun
dalam percobaan Throndike pada seekor kucing yang lapar yang ditaruh
dalam kandang, pertama-tama kucing tadi membutuhkan waktu yang lama
untuk mengetahui pintu kandang tersebut dan untuk menemukan pintu
tersebut membutuhkan pecobaan tingkah laku yang berulang-ulang dan
membutuhkan waktu yang relative lama untuk mendapatkan tingkah laku yang
cocok, sehingga kucing tadi untuk keluartidak membutuhkan waktu yang
lama.
3) Hukum Akibat “Law of Effect”
Setiap
organisme memiliki respon sendiri-sendiri dalam menghadapi stimulus dan
situasi yang baru, apabila suatu organisme telah menetukan respon atau
tindakan yang melahirkan kepuasan dan keocokan dengan situasi maka hal
ini pasti akan di pegang dan dilakuakn sewaktu-waktu ia di hadapakan
dengan situasi yang sama. Sedangkan tingkah laku yang tidak melahirkan
kepuasaan dalam menghadapi situasi dan stimulus maka respon yang seperti
ini aka ditinggalkan selama-lamanya oleh pelaku. Hal ini terjadi secara
otomatis bagi semua binantang (otomatisme).
Hukum belajar ini timbul dari percobaan thorndike pada seekor kucing yang
lapar dan ditaruh dalam kandang, yang ditaruh makanan diluar kandang
tersebut tepat didepan pintu kandang. Makanan ini merupakan effect
positif atau juga bisa dikatakan bentuk dari ganjaran yang telah
diberikan dari respon yang dilakukan dalam menghadapi situsai yang ada.
Thorndike mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanismus yang hanya bertindak jika ada perangsang dan situasi yang mempengaruhinya. Dalam dunia pendidikan Law of Effect ini terjadi pada tindakan seseoranng dalam memberikan punishment atau reward . Akan tetapi dalam dunia pendidikan menurut Thorndike yang lebih memegang peranan adalah pemberian reward dan inilah yang lebih dianjurkan. Teori Thorndike ini biasanya juga disebut teori koneksionisme karena dalam hukum belajarnya ada “Law of Effect” yang mana disini terjadi hubungan antara tingkah laku atau respon yang dipengaruhi oleh stimulus dan situasi dan tingkah laku tersebut mendatangkan hasilnya(Effect).
D. Prinsip-Prinsip Belajar yang Dikemukakan oleh Thorndik
1. Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon yang ia lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama walaupun menghadapi situasi
yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan respon atau
tindakan yang cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang
dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi
dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama,
misalnya orang tua dihadapkan dengan prilaku anak yang kurang wajar.
2. Dalam
diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan
seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga
akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa
pekembangan dan menyongsong masa depan maka sebenarnya dalam diri orang
tersebut sudah menegetahui unsur yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan.
3. Orang
cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama.
Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh
pacarnya dan ia mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah
mengalami kejadian yang sama karena hal yang sama maka sudah barang
tentu ia akan merespon situasi tersebut seperti yang ia lakukan seperti
dahulu yang ia lakukan.
E. Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi Teori Thorndike
· Sebelum
guru dalam kelas mulai mengajar, maka anak-anak disiapkan mentalnya
terlebih dahulu. Misalnya anak disuruh duduk, reward dan punishment
sehingga memberikan motivasi proses belajar mengajar yang rapi, tenang
dan sebagainya.
· Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat atau sistem drill.
· Guru memberikan bimbingan, pemberian hadiah, dan pujian.
Sebagai
konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma
behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap,
sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan
secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi
instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri
maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari
yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian
suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang
dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan
dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi
kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini
adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang
diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas
perilaku yang tampak.
Metode
behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang
membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan,
spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer,
berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk
melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa,
suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan
teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak
menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter,
komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang
harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari
luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid
hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa
yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik
justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
F. Kelemahan-kelemahan dari teori Thorndike
1. Terlalu
memandang manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka disamakan
dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia.
2. Memandang
belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon.
Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi
tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus
menerus.
3. Karena belajar berlangsung secara mekanistis, maka penegertian tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
4. Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka